Rabu, 08 Februari 2012

karena Alloh semata

Diam. Itu yang biasa Fulan lakukan bila rekan-rekan kerja menjadikan dirinya sebagai bahan ledekan. Lebih baik diam. Sebab menanggapi pun hanya akan membuat ledekan mereka semakin berkembang. Belum menikah di usia berkepala tiga, dimana teman seusianya rata-rata sudah berkeluarga dan mempunyai anak, ada yang dua bahkan ada juga yang tiga, membuat Fulan sering menjadi bahan ledekan rekan-rekan sekantornya.
“Bulan Haji sudah lewat, kamu belum juga kawin, Lan?” salah seorang rekan kerja Fulan membuka obrolan, atau lebih tepatnya ledekan, beberapa menit sebelum jam makan siang.
“ Boro-boro kawin, punya pacar saja belum,” celetuk rekan kerja lainnya. “Sudahlah Lan, jangan terlalu pilih-pilih, segeralah kawin. Hati-hati, kelamaan membujang nanti bisa berkarat!” lanjutnya, yang disambut dengan gelak tawa rekan kerja lainnya.
Dan seperti biasa, Fulan hanya menanggapinya dengan diam dan senyum. Tak perlu merasa sakit hati. Cukup sering ia mendengar semacam ini, seolah-olah tak ada yang lebih menarik bagi mereka selain menjadikan dirinya sebagai bahan guyonan.
Dan pilihan Fulan memang cukup ampuh untuk tidak membiarkan dirinya jadi bulan-bulanan. Diam dan atau tersenyum adalah jurus yang tetap akan ia gunakan selama ledekan dan guyonan yang mereka lontarkan masih dalam batas kewajaran.
Tapi apa yang terdengar siang itu sungguh tak bisa hanya Fulan tanggapi dengan diam ataupun tersenyum. Bukan marah, tapi Fulan merasa perlu meluruskan apa yang baru saja diucapkan salah seorang rekan kerjanya ketika ia menolak untuk makan siang bersama karena hari itu ia sedang berpuasa.
“Sudah aku bilang, buruan kawin, biar ada yang masakin. Jadi kamu tidak puasa melulu!” celetuk salah seorang rekan kerja sambil tertawa. Dan meskipun guyonannya kali ini tidak di’amin’i rekan kerja lainnya, ia yang memang paling rajin meledek Fulan merasa guyonannya tak kalah lucu dari biasanya.
Bukan saja tidak lucu, tapi celetukannya kali ini memancing reaksi Fulan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Maaf! Sebagai laki-laki normal, sayapun ingin menikah. Sungguh! Tapi mau bagaimana lagi, barangkali Allah belum mengijinkan. Sampai saat ini Allah belum mempertemukan dengan jodoh saya. Karena itu saya coba meredam hasrat alami saya dengan berpuasa.” Fulan menjawab dengan hati-hati. Ia tak ingin justru rekan kerjanya yang jadi tersinggung, meskipun sebenarnya ia yang lebih pantas tersinggung.
“Biar cepat dapat jodoh?” sahut rekan kerjanya, masih belum menyadari kekeliruannya.
Fulan menjawabnya dengan menggeleng.
“Atau, biar cepat kaya?” rekan kerja Fulan kembali bertanya. Kali ini ia sambil tertawa.
Sambil tersenyum Fulan menjawab. “Bukan, bukan karena itu semua. Saya berpuasa bukan karena terpaksa sebab tidak ada yang memasak untuk saya. Meski rasanya tidak enak, insya Allah saya bisa masak sendiri. Atau kalau saya lagi malas masak, di sekitar kontrakan saya masih banyak warung nasi. Juga saya berpuasa bukan agar cepat dapat jodoh, apalagi cepat kaya.”
“Lalu?”
“Saya hanya mengikuti pesan Rosululloh kepada pemuda yang ingin menikah tapi belum mampu, agar berpuasa karena puasa itu perisai baginya. Saya sudah siap dan insya Allah mampu untuk berumah tangga, baik secara fisik, hati maupun materi. Tapi sampai saat ini Allah belum menunjukan wanita mana yang akan menjadi jodoh saya. Saya bukan pilih-pilih, tapi memilah dan memilih calon pasangan adalah satu keharusan agar rumah tangga selamat dunia hingga akhirat.”
“Maaf, kalian tentu lebih tahu dan lebih berpengalaman dalam hal ini.” Fulan menambahkan. “Dan selain mengikuti anjuran rosul, tujuan utama saya berpuasa adalah karena mengharap ridho Allah semata. Mengapa? Karena ketika Allah ridho dengan kita, apapun yang kita inginkan, kita butuhkan, akan Allah kabulkan. Insya Allah. Maaf, saya tidak bermaksud menggurui, saya hanya mengingatkan, terutama diri saya sendiri bahwa apapun yang saya lakukan semestinya karena Allah semata, bukan karena kepentingan dunia yang hanya sesaat. Dengan ridho Allah, dunia akhirat insya Allah selamat. “
Sunyi. Tak ada satupun rekan kerja yang menanggapi, termasuk yang tadi memulai obrolan ini.
“Maaf, Lan. Saya tak bermaksud menyinggung perasaanmu” akhirnya ia menyadari kesalahannya.
“Sudahlah, fren. Saya tidak tersinggung kok. Silahkan makan siang, sudah waktunya istirahat.” Jawab Fulan sambil tersenyum. Ia sengaja memanggil fren untuk mencairkan suasana. Tak ingin Fulan berlama-lama dalam suasana yang tidak nyaman. Yang terpenting adalah rekan kerjanya bisa mengambil pelajaran, dan tidak sembarangan memilih obrolan.
***
Saya sepakat dan sependapat dengan Fulan. Bahwa segala sesuatu yang kita lakukan semestinya adalah karena Allah semata. Pekerjaan yang sama belum tentu di mata Allah nilainya sama. Semua tergantung niat ketika akan melakukannya.
sama-sama berpuasa belum tentu sama-sama bernilai ibadah, tergantung niatnya. Ketika berpuasa karena terpaksa, tidak ada yang memasak seperti yang rekan kerja Fulan katakan, ingin cepat kaya, diet dalam rangka menurunkan berat badan atau berbagai macam alasan duniawi lainnya, maka tak ada pahala yang ia dapatkan selain apa yang ia inginkan.
Barangkali dengan berpuasa ia memang bisa berhemat sehingga ia bisa menabung lebih banyak, lebih cepat kaya karena kaya dalam pandangannya selalu diukur dengan harta. Atau dengan berpuasa ia bisa menurunkan berat badannya hingga tercapai berat yang ideal. Itu mungkin-mungkin saja. Tapi sesungguhnya orang yang seperti ini sangatlah merugi.
Semestinya, kalaupun benar di rumah tidak ada makanan, tidak ada yang memasak, ingin berhemat, atau ingin memiliki berat badan yang ideal, tetap niatkan puasa karena Allah semata. Mengharap ridho Allah, bukan yang lainnya.
Seperti yang Fulan katakan, ketika Allah ridho kepada kita, maka Allah akan mencukupkan yang kita inginkan, memberikan yang kita butuhkan. Jangan arahkan yang kita kerjakan untuk kepentingan duniawi saja, itu tidak bernilai ibadah. Niatkanlah karena Allah, karena dengan demikian, dunia akhirat tercakup semuanya.
Allah Mahatahu apa yang kita inginkan, kita butuhkan. Mari benahi niat sebelum melakukan sesuatu. Pastikan karena kita mengharap ridho Allah semata. Insya Allah.
dikutip dari oaseiman.com

[+/-] Selengkapnya...

berlomba menuju kota raja

Berlomba menuju Kota Raja
Ibnu Abdil Bari el ‘Afifi

            Dikisahkan, ada seorang Raja membangun sebuah kota di lokasi yang sangat strategis, dan dekat dengan sumber air. Sungai-sungainya mengalir dengan deras dan pepohonannya teratur rapi. Suatu hari, sang Raja berkata kepada rakyatnya, “Berlombalah kalian menuju tempat yang paling indah di kota tersebut. Barangsiapa yang mencapai tempat tersebut, maka ia menjadi miliknya. Ia boleh memilih rumah mana saja yang disukainya, sesuai dengan cepat-lambatnya kalian dalam mendapatkannya. Ia juga berhak mendapatkan layanan untuk mendapatkan apapun yang dikehendakinya. Semaunya. Tetapi barangsiapa yang berlambat-lambat, maka ia akan didahului orang lain untuk mencapai kota tersebut, dan rumahnya akan ditempati oleh orang lain, dan ia akan menjadi orang yang sedih, dan tidak mendapat tempat tinggal, selama-lamanya.”
            Sang Raja juga memberitahukan bahwa dalam mengarungi perlombaan itu, mereka akan menemui pohon besar yang rindang, yang akan menjadi naungan bagi orang-orang di bawahnya. Di bawah pohon tersebut terdapat air yang mengalir dan di atasnya terdapat bebuahan yang bermacam-macam, dan beburungan yang berkicauan merdu. Tetapi sang Raja mengingatkan, “Janganlah kalian terperdaya dengan pohon yang naungannya sejuk itu, karena pohon itu akan tercerabut dari akarnya, akan hilang naungannya, akan habis buah-buahannya dan burung-burungnya yang berkicauan merdu pun akan mati. Sedangkan di kota Raja, bebuahannya akan terus ada dan tak akan pernah habis, naungannya tidak akan pernah hilang dan kenikmatannya akan selalu mengabadi, dan tiada lagi kematian bagi penghuninya. Di dalamnya terdapat berbagai kenikmatan yang belum pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dan belum pernah terdetik pada sanubari manusia.”
            Kabar ini didengarkan oleh semua rakyatnya, tak terkecuali, baik rakyat yang setia maupun yang membangkang. Semua mendapatkan informasi seperti ini, tergantung bagaimana sikap dan respon mereka dalam menanggapi perlombaan yang harus dilalui oleh mereka semua. Karena syarat utama untuk sampai kepada kota raja tersebut, mereka harus menempuh perjalanan yang melelahkan, perjalanan panjang yang menguras waktu, tenaga, darah dan airmata, perjalanan yang akan meninggalkan banyak duka dalam mengarunginya tetapi akan berbuah manis ketika sudah sampai di tempat tujuan. Itulah kota impian, yang didambakan oleh semua orang pada saat itu. Tetapi pertanyaannya, sanggupkah mereka melaksanakan sesuai dengan perintah sang Raja?
            Ketika semuanya hendak berlomba menuju kota impian, mereka pun terlebih dahulu harus bersinggah di bawah pohon besar yang pernah dijanjikan; yang dihiasai dengan sungai-sungai yang segar, bebuahan yang ranum dan kicauan beburungan yang begitu merdu. Mereka melewati pohon tersebut dalam keadaan letih, lelah, payah, kepanasan dan kehausan. Mau tidak mau, semuanya berhenti dan beristirahat di bawah naungan pohon tersebut sambil menikmati manisnya bebuahan untuk menghilangkan lapar, meminum air sungainya untuk melepas dahaga, dan mendengarkan suara kicauan burung untuk melepaskan kelelahan barang sejenak.
            Mereka pun diingatkan oleh utusan sang Raja yang membersamai mereka, “Sesungguhnya persinggahan kalian di tempat ini hanyalah sekedar untuk menguatkan diri kalian, dan mempersiapkan kendaraan kalian untuk mengadakan perlombaan. Jika terompet telah dibunyikan, bersegeralah kalian lari menuju arena perlombaan, dan menjemput kota impian; kota yang penuh dengan berbagai kenikmatan yang tak terbayangkan, kota yang akan selalu dikenang, dan menjadi dambaan setiap orang.”
            Tetapi kebanyakan mereka malah menjawab, “Bagaimana kami akan meninggalkan naungan yang teduh ini, air yang segar, bebuahan yang masak, dan kami di sini bisa istirahat dan santai-santai, kemudian kami harus terjun ke arena perlombaan dalam keadaan panas, berdebu, lelah, letih, serta harus menempuh perjalanan yang jauh serta melalui padang sahara yang kering lagi tandus yang membuat usus-usus kami terputus karena kehausan. Bagaimana kami harus menjual harta yang sudah ada di tangan kami dengan system pembayaran di belakang untuk waktu yang sangat lama, dan kami harus meninggalkan kenikmatan yang sudah tampak di depan mata menuju kenikmatan yang belum pernah kami lihat sebelumnya, yang mungkin saja itu hanya kenikmatan ilusi yang belum tentu ada. Kenikmatan yang sudah ada itu lebih baik daripada kenikmatan yang dijanjikan besok. Kami akan mengambil kenikmatan yang sudah bisa dilihat mata dan meninggalkan kenikmatan yang baru didengar oleh telinga. Kami adalah anak-anak yang dilahirkan untuk menikmati hari ini. Bagaimana kami harus meninggalkan kehidupan yang telah ada ada sekarang ini menuju kehidupan yang belum Nampak, di sebuah negeri yang jauh yang kami tidak tahu kapan kami akan sampai ke sana.”
            Orang-orang seperti ini disindir oleh Ibnu Qayyim al Jauziyyah dengan nasehatnya,
“Sungguh mengherankan orang yang bodoh yang berlagak sok pintar, orang dungu yang berlagak pandai. Ia lebih mengutamakan bagian yang rendah dan akan binasa dari pada bagian yang kekal. Menjual jannah yang luasnya seluas langit dan bumi, dengan penjara sempit yang akan rusak dan binasa. Ia jual rumah yang begitu indah dan elok di syurga ‘Adn, yang  mengalir dibawahnya sungai-sungai, dengan kandang-kandang sempit yang akan roboh dan binasa. Ia gadaikan gadis-gadis perawan yang penuh cinta lagi sebaya umurnya, bagaikan permata yakut dan marjan, dengan mereka yang berperilaku  menjijikkan lagi kotor, para pezina, atau wanita-wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. Bidadari yang jelita, putih bersih, yang di pingit dalam rumah, ia tukar dengan perempuan-perempuan kotor lagi murahan. Sungai-sungai khamr yang lezat di minum, dengan minuman najis yang hanya akan menghilangkan akal, dan merusak dunia serta agama. Kenikmatan melihat wajah Allah Yang Maha Perkasa lagi Penyayang, ia tukar dengan melihat wajah buruk lagi jelek. Mendengar kalam Yang Maha Pengasih, di ganti dengan mendengarkan alat-alat musik, nyanyian, dan lagu-lagu murahan. Duduk di atas singgasana permata, batu mutiara dan zamrud pada hari yang dianugerahkan kepadanya  di tukar dengan duduk-duduk di majelis yang penuh dengan kefasikan bersama syetan yang suka membangkang. Panggilan Ar Rohman : “Wahai Penduduk Jannah, sesungguhnya kalian akan selalu mendapat nikmat maka janganlah berputus asa , kalian akan hidup kekal tidak akan mati, kalian akan tetap tinggal tidak akan pergi, tetap muda tidak pernah akan tua. Ia tukar panggilan itu dengan nyanyian biduan :
Hawa nafsu telah menghampiriku ketika engkau datang
Akupun tak bisa mengakhirkan ataupun mendahulukannya
Aku dapatkan celaan dalam hawa nafsu yang melenakan
Karena kecintaan mengingat dirimu
Maka silahkan kalau ada yang mau mencela
Sayangnya, tipuan keji dalam jual beli ini baru akan nampak jelas nanti pada hari kiamat. Sungguh akan terlihat kebobrokan jual beli ini pada hari kerugian dan penyesalan, ketika orang-orang bertaqwa dikumpulkan menuju Ar Rahman dengan segera dan orang-orang durhaka di giring ke jahannam satu persatu. Ketika itulah sang penyeru akan menyerukan seruannya  dengan disaksikan oleh para saksi : “Maka hendaklah Ahli Mauqif (orang-orang yang dikumpulkan di makhsyar) sadar siapakah sebenarnya orang yang paling mulia di antara kalian. Jika orang-orang yang tertinggal masih ragu-ragu dengan kedudukan tinggi yang dijanjikan  Allah kepada mereka, berupa kemuliaan dan apa yang di simpan oleh Allah untuk mereka, berupa keutamaan dan kenikmatan serta apa yang tidak terlihat oleh mata mereka, berupa Qurratu A’yun yang belum pernah terlihat oleh mata, belum terdengar oleh telinga dan belum terdetik pada qolbu bani Adam, maka pada hari ini ia pun baru tahu dan sadar berapa banyak dagangan yang sudah lenyap yang tidak memberikan kebaikan dalam hidupnya. Padahal ia selalu menghitung-hitung jika ada barangnya yang hilang. Ia baru tahu bahwa ada satu kaum yang telah mendapatkan kerajaan besar yang tak pernah rusak atau tertimpa kebinasaan. Mereka telah mendapatkan keberuntungan berupa kenikmatan yang kekal di tempat yang besar dan tinggi yang airnya melimpah tak pernah henti.”

            Akhirnya, mereka pun tetap tinggal di bawah pepohonan yang rindang tersebut, sekalipun sudah diingatkan oleh pesan awal sang Raja bahwa pohon itu akan tercerabut dari akarnya, naungannya akan hilang, bebuahannya akan habis dengan berlalunya masa, dan beburungannya juga akan mati. Berbeda dengan apa yang tersedia di kota Raja, pepohonannya lebih beraneka rupa beserta bebuahannya yang akan selalu ada dan tidak pernah ada habis-habisnya, dan beburungannya akan selalu berkicau, ditambah lagi mereka akan dilayani oleh para pelayan yang selalu siap memenuhi semua permintaannya; semua pinta mereka akan tersedia dengan mudahnya, apapun keinginannya.
            Maka yang berangkat mengikuti perlombaan itu hanya satu dari setiap seribu orang peserta. Mereka berkata, “Demi Allah, tempat kami bukanlah di naungan yang tidak kekal ini, di bawah pepohonan yang sebentar lagi tercerabut dari akarnya, bebuahannya akan habis, dan burung-burung yang berkicauan di atasnya akan mati. Kami akan mengikuti perlombaan menuju naungan kota yang yang tidak akan pernah hilang, menuju kehidupan nyama yang tidak akan pernah putus. Patutkah seorang musafir beristirahat di bawah naungan untuk membangun kemahnya, dan menjadikannya sebagai tempat tinggal? Bukankah ini tindakan yang paling bodoh?”
Hukum kematian bagi makhluk pasti berlaku
Dunia bukanlah tempat menetap
Penuhilah kebutuhan kalian dengan segera
Karena hidup kalian adalah sebuah perjalanan
Dari perjalanan-perjalanan yang ada.
Berlarilah menuju arena perlombaan dan bergegaslah
Tinggalkanlah naungan yang tidak abadi
Karena kalian di dunia ini adalah Musafir
Barangsiapa yang menginginkan kehidupan yang enak di dunia
Berarti ia membangun harapan di tepi jurang yang akan runtuh.
Kehidupan di atas kehidupan adalah setelah meninggalkan dunia.
Di negeri orang-orang yang menang
Negeri yang paling Mulia.
            Kemudian mereka menerjunkan diri ke arena perlombaan dan tidak memedulikan sedikitnya teman seperjalanan. Mereka berjalan dengan tekad yang bulat dan tidak memedulikan celaan orang yang mencela dengan perjalanan mereka. Sedangkan orang-orang yang menetap di bawah naungan pohon tersebut tertidur pulas. Demi Allah, tidak lama kemudian ranting-ranting pohon tersebut menjadi layu, dedaunannya akan rontoh, bebuahanya akan habis, ranting-rantignnya akan kering, dan airnya akan habis. Kemudia pohon tersebut akan tercerabut dari akaranya sehingga orang-orang yang berteduh di bawahnya menjadi kepanasan, dan menyesal serta merasa bersedih karena kehilangan kehidupan, mereka tidak lagi mendapatkan penghidupan di bawah pohon tersebut. Pohon itu dibakar oleh sang Raja, sehingga pohon dan semuanya isinya menjadi api yang menyala-nyala. Api mengepung orang-orang yang ada di bawahnya sehingga tak seorang pun di antara mereka bisa keluar darinya. Kemudian mereka berkata, “Di mana orang-orang yang berteduh bersama kami di bawah pohon ini yang kemudian beristirahat sejenak lalu meninggalkannya?”
            Kekata mereka persis angan-angan orang kafir yang diabadikan oleh Allah dalam firman-Nya, “Rubama yawaddu l-ladzîna kafarû lau kânu muslimîn, dzar hum ya’kulû wa yatamatta’û wa yulhihimu l-amalu fa saufa ya’lamûn, Orang-orang yang kafir itu sering kali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim. Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka).” (al Hijr : 2-3).
Maka tanya mereka pun dijawab, “Angkatlah pandangan mata kalian niscaya kalian akan melihat rumah-rumah mereka.” Maka mereka melihat dari kejauhan, dan terlihatlah teman-temannya yang dulu bersama mereka, berada di dalam istana-istana kota Raja, beserta kamar-kamar yang megah, mereka bersenang-senang dengan berbagai macam kelezatan. Mereka semakin menyesal, kenapa mereka dulu tidak mengindahkan pesan sang Raja, dan ikut perlombaan menuju kotanya. Dan kesedihan semakn bertambahan dan berkepanjangan karena mereka dijauhkan dari hal-hal yang mereka inginkan. Dikatakan kepada mereka, “Inilah balasan bagi orang-orang yang tertinggal.”
   Allah berfirman :
وَمَا ظَلَمْنَاهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
 “Dan Kami tiada menganiaya mereka akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” ( QS.  An Nahl: 118).
Saudaraku, itulah permisalan perjalanan kita menuju akhirat; pohon besar itu adalah dunia yang sekarang kita tinggali; di tempat inilah kita membekali diri dengan bekal yang akan mengantarkan kepada kota impian. Itulah negeri yang kita dipinta untuk merindukannya, sebagaimana kekata, “Hubbul wathan mina l-îman, mencintai negeri Surga adalah bagian dari keimanan.” Iya, sejatinya negeri yang dimaksud dari kata-kata tersebut adalah surga, bukan yang lainnya. Itulah tempat yang sangat dirindukan oleh orang-orang yang mencinta Rajanya.
Maka, “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.  Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (al Hadid : 20-21).
 “Wa sâri’û ilâ maghfiratin min rabbikum wa jannatin ‘ardhuhâ ka ardhi s-samâwatt wa l-ardhi ‘uiddat li l-ladzîna âmanû billâhi wa rusulih, dzâlika fadhlullâhi yu’thi man yasyâ’u, wallâhu dzu l-fadhli l-‘azhîm, Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.”

Reference : Hâdi l-Arwâh ilâ Bilâdi l-Afrâh, dan ‘Uddatu s-Shâbirîn.
dikutip dari www.oaseiman.com

[+/-] Selengkapnya...