Berlomba menuju Kota Raja
Ibnu Abdil Bari el ‘Afifi
Dikisahkan, ada seorang Raja
membangun sebuah kota di lokasi yang sangat strategis, dan dekat dengan
sumber air. Sungai-sungainya mengalir dengan deras dan pepohonannya
teratur rapi. Suatu hari, sang Raja berkata kepada rakyatnya,
“Berlombalah kalian menuju tempat yang paling indah di kota tersebut.
Barangsiapa yang mencapai tempat tersebut, maka ia menjadi miliknya. Ia
boleh memilih rumah mana saja yang disukainya, sesuai dengan
cepat-lambatnya kalian dalam mendapatkannya. Ia juga berhak mendapatkan
layanan untuk mendapatkan apapun yang dikehendakinya. Semaunya. Tetapi
barangsiapa yang berlambat-lambat, maka ia akan didahului orang lain
untuk mencapai kota tersebut, dan rumahnya akan ditempati oleh orang
lain, dan ia akan menjadi orang yang sedih, dan tidak mendapat tempat
tinggal, selama-lamanya.”
Sang Raja juga
memberitahukan bahwa dalam mengarungi perlombaan itu, mereka akan
menemui pohon besar yang rindang, yang akan menjadi naungan bagi
orang-orang di bawahnya. Di bawah pohon tersebut terdapat air yang
mengalir dan di atasnya terdapat bebuahan yang bermacam-macam, dan
beburungan yang berkicauan merdu. Tetapi sang Raja mengingatkan, “Janganlah
kalian terperdaya dengan pohon yang naungannya sejuk itu, karena pohon
itu akan tercerabut dari akarnya, akan hilang naungannya, akan habis
buah-buahannya dan burung-burungnya yang berkicauan merdu pun akan mati.
Sedangkan di kota Raja, bebuahannya akan terus ada dan tak akan pernah
habis, naungannya tidak akan pernah hilang dan kenikmatannya akan selalu
mengabadi, dan tiada lagi kematian bagi penghuninya. Di dalamnya
terdapat berbagai kenikmatan yang belum pernah dilihat oleh mata,
didengar oleh telinga, dan belum pernah terdetik pada sanubari manusia.”
Kabar ini didengarkan oleh
semua rakyatnya, tak terkecuali, baik rakyat yang setia maupun yang
membangkang. Semua mendapatkan informasi seperti ini, tergantung
bagaimana sikap dan respon mereka dalam menanggapi perlombaan yang harus
dilalui oleh mereka semua. Karena syarat utama untuk sampai kepada kota
raja tersebut, mereka harus menempuh perjalanan yang melelahkan,
perjalanan panjang yang menguras waktu, tenaga, darah dan airmata,
perjalanan yang akan meninggalkan banyak duka dalam mengarunginya tetapi
akan berbuah manis ketika sudah sampai di tempat tujuan. Itulah kota
impian, yang didambakan oleh semua orang pada saat itu. Tetapi
pertanyaannya, sanggupkah mereka melaksanakan sesuai dengan perintah
sang Raja?
Ketika semuanya hendak
berlomba menuju kota impian, mereka pun terlebih dahulu harus bersinggah
di bawah pohon besar yang pernah dijanjikan; yang dihiasai dengan
sungai-sungai yang segar, bebuahan yang ranum dan kicauan beburungan
yang begitu merdu. Mereka melewati pohon tersebut dalam keadaan letih,
lelah, payah, kepanasan dan kehausan. Mau tidak mau, semuanya berhenti
dan beristirahat di bawah naungan pohon tersebut sambil menikmati
manisnya bebuahan untuk menghilangkan lapar, meminum air sungainya untuk
melepas dahaga, dan mendengarkan suara kicauan burung untuk melepaskan
kelelahan barang sejenak.
Mereka pun diingatkan oleh
utusan sang Raja yang membersamai mereka, “Sesungguhnya persinggahan
kalian di tempat ini hanyalah sekedar untuk menguatkan diri kalian, dan
mempersiapkan kendaraan kalian untuk mengadakan perlombaan. Jika
terompet telah dibunyikan, bersegeralah kalian lari menuju arena
perlombaan, dan menjemput kota impian; kota yang penuh dengan berbagai
kenikmatan yang tak terbayangkan, kota yang akan selalu dikenang, dan
menjadi dambaan setiap orang.”
Tetapi kebanyakan mereka malah menjawab, “Bagaimana
kami akan meninggalkan naungan yang teduh ini, air yang segar, bebuahan
yang masak, dan kami di sini bisa istirahat dan santai-santai, kemudian
kami harus terjun ke arena perlombaan dalam keadaan panas, berdebu,
lelah, letih, serta harus menempuh perjalanan yang jauh serta melalui
padang sahara yang kering lagi tandus yang membuat usus-usus kami
terputus karena kehausan. Bagaimana kami harus menjual harta yang sudah
ada di tangan kami dengan system pembayaran di belakang untuk waktu yang
sangat lama, dan kami harus meninggalkan kenikmatan yang sudah tampak
di depan mata menuju kenikmatan yang belum pernah kami lihat sebelumnya,
yang mungkin saja itu hanya kenikmatan ilusi yang belum tentu ada.
Kenikmatan yang sudah ada itu lebih baik daripada kenikmatan yang
dijanjikan besok. Kami akan mengambil kenikmatan yang sudah bisa dilihat
mata dan meninggalkan kenikmatan yang baru didengar oleh telinga. Kami
adalah anak-anak yang dilahirkan untuk menikmati hari ini. Bagaimana
kami harus meninggalkan kehidupan yang telah ada ada sekarang ini menuju
kehidupan yang belum Nampak, di sebuah negeri yang jauh yang kami tidak
tahu kapan kami akan sampai ke sana.”
Orang-orang seperti ini disindir oleh Ibnu Qayyim al Jauziyyah dengan nasehatnya,
“Sungguh mengherankan orang yang bodoh
yang berlagak sok pintar, orang dungu yang berlagak pandai. Ia lebih
mengutamakan bagian yang rendah dan akan binasa dari pada bagian yang
kekal. Menjual jannah yang luasnya seluas langit dan bumi, dengan
penjara sempit yang akan rusak dan binasa. Ia jual rumah yang begitu
indah dan elok di syurga ‘Adn, yang mengalir dibawahnya sungai-sungai,
dengan kandang-kandang sempit yang akan roboh dan binasa. Ia gadaikan
gadis-gadis perawan yang penuh cinta lagi sebaya umurnya, bagaikan
permata yakut dan marjan, dengan mereka yang
berperilaku menjijikkan lagi kotor, para pezina, atau wanita-wanita
yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. Bidadari yang jelita,
putih bersih, yang di pingit dalam rumah, ia tukar dengan
perempuan-perempuan kotor lagi murahan. Sungai-sungai khamr yang lezat
di minum, dengan minuman najis yang hanya akan menghilangkan akal, dan
merusak dunia serta agama. Kenikmatan melihat wajah Allah Yang Maha
Perkasa lagi Penyayang, ia tukar dengan melihat wajah buruk lagi jelek.
Mendengar kalam Yang Maha Pengasih, di ganti dengan mendengarkan
alat-alat musik, nyanyian, dan lagu-lagu murahan. Duduk di atas
singgasana permata, batu mutiara dan zamrud pada hari yang dianugerahkan
kepadanya di tukar dengan duduk-duduk di majelis yang penuh dengan
kefasikan bersama syetan yang suka membangkang. Panggilan Ar Rohman
: “Wahai Penduduk Jannah, sesungguhnya kalian akan selalu mendapat
nikmat maka janganlah berputus asa , kalian akan hidup kekal tidak akan
mati, kalian akan tetap tinggal tidak akan pergi, tetap muda tidak
pernah akan tua. Ia tukar panggilan itu dengan nyanyian biduan :
Hawa nafsu telah menghampiriku ketika engkau datang
Akupun tak bisa mengakhirkan ataupun mendahulukannya
Aku dapatkan celaan dalam hawa nafsu yang melenakan
Karena kecintaan mengingat dirimu
Maka silahkan kalau ada yang mau mencela
Sayangnya, tipuan keji dalam jual beli
ini baru akan nampak jelas nanti pada hari kiamat. Sungguh akan terlihat
kebobrokan jual beli ini pada hari kerugian dan penyesalan, ketika
orang-orang bertaqwa dikumpulkan menuju Ar Rahman dengan segera dan
orang-orang durhaka di giring ke jahannam satu persatu. Ketika itulah
sang penyeru akan menyerukan seruannya dengan disaksikan oleh para
saksi : “Maka hendaklah Ahli Mauqif (orang-orang yang
dikumpulkan di makhsyar) sadar siapakah sebenarnya orang yang paling
mulia di antara kalian. Jika orang-orang yang tertinggal masih ragu-ragu
dengan kedudukan tinggi yang dijanjikan Allah kepada mereka, berupa
kemuliaan dan apa yang di simpan oleh Allah untuk mereka, berupa
keutamaan dan kenikmatan serta apa yang tidak terlihat oleh mata mereka,
berupa Qurratu A’yun yang belum pernah terlihat oleh mata,
belum terdengar oleh telinga dan belum terdetik pada qolbu bani Adam,
maka pada hari ini ia pun baru tahu dan sadar berapa banyak dagangan
yang sudah lenyap yang tidak memberikan kebaikan dalam hidupnya. Padahal
ia selalu menghitung-hitung jika ada barangnya yang hilang. Ia baru
tahu bahwa ada satu kaum yang telah mendapatkan kerajaan besar yang tak
pernah rusak atau tertimpa kebinasaan. Mereka telah mendapatkan
keberuntungan berupa kenikmatan yang kekal di tempat yang besar dan
tinggi yang airnya melimpah tak pernah henti.”
Akhirnya, mereka pun tetap
tinggal di bawah pepohonan yang rindang tersebut, sekalipun sudah
diingatkan oleh pesan awal sang Raja bahwa pohon itu akan tercerabut
dari akarnya, naungannya akan hilang, bebuahannya akan habis dengan
berlalunya masa, dan beburungannya juga akan mati. Berbeda dengan apa
yang tersedia di kota Raja, pepohonannya lebih beraneka rupa beserta
bebuahannya yang akan selalu ada dan tidak pernah ada habis-habisnya,
dan beburungannya akan selalu berkicau, ditambah lagi mereka akan
dilayani oleh para pelayan yang selalu siap memenuhi semua
permintaannya; semua pinta mereka akan tersedia dengan mudahnya, apapun
keinginannya.
Maka yang berangkat
mengikuti perlombaan itu hanya satu dari setiap seribu orang peserta.
Mereka berkata, “Demi Allah, tempat kami bukanlah di naungan yang tidak
kekal ini, di bawah pepohonan yang sebentar lagi tercerabut dari
akarnya, bebuahannya akan habis, dan burung-burung yang berkicauan di
atasnya akan mati. Kami akan mengikuti perlombaan menuju naungan kota
yang yang tidak akan pernah hilang, menuju kehidupan nyama yang tidak
akan pernah putus. Patutkah seorang musafir beristirahat di bawah
naungan untuk membangun kemahnya, dan menjadikannya sebagai tempat
tinggal? Bukankah ini tindakan yang paling bodoh?”
Hukum kematian bagi makhluk pasti berlaku
Dunia bukanlah tempat menetap
Penuhilah kebutuhan kalian dengan segera
Karena hidup kalian adalah sebuah perjalanan
Dari perjalanan-perjalanan yang ada.
Berlarilah menuju arena perlombaan dan bergegaslah
Tinggalkanlah naungan yang tidak abadi
Karena kalian di dunia ini adalah Musafir
Barangsiapa yang menginginkan kehidupan yang enak di dunia
Berarti ia membangun harapan di tepi jurang yang akan runtuh.
Kehidupan di atas kehidupan adalah setelah meninggalkan dunia.
Di negeri orang-orang yang menang
Negeri yang paling Mulia.
Kemudian mereka menerjunkan
diri ke arena perlombaan dan tidak memedulikan sedikitnya teman
seperjalanan. Mereka berjalan dengan tekad yang bulat dan tidak
memedulikan celaan orang yang mencela dengan perjalanan mereka.
Sedangkan orang-orang yang menetap di bawah naungan pohon tersebut
tertidur pulas. Demi Allah, tidak lama kemudian ranting-ranting pohon
tersebut menjadi layu, dedaunannya akan rontoh, bebuahanya akan habis,
ranting-rantignnya akan kering, dan airnya akan habis. Kemudia pohon
tersebut akan tercerabut dari akaranya sehingga orang-orang yang
berteduh di bawahnya menjadi kepanasan, dan menyesal serta merasa
bersedih karena kehilangan kehidupan, mereka tidak lagi mendapatkan
penghidupan di bawah pohon tersebut. Pohon itu dibakar oleh sang Raja,
sehingga pohon dan semuanya isinya menjadi api yang menyala-nyala. Api
mengepung orang-orang yang ada di bawahnya sehingga tak seorang pun di
antara mereka bisa keluar darinya. Kemudian mereka berkata, “Di mana orang-orang yang berteduh bersama kami di bawah pohon ini yang kemudian beristirahat sejenak lalu meninggalkannya?”
Kekata mereka persis angan-angan orang kafir yang diabadikan oleh Allah dalam firman-Nya, “Rubama yawaddu l-ladzîna kafarû lau kânu muslimîn, dzar hum ya’kulû wa yatamatta’û wa yulhihimu l-amalu fa saufa ya’lamûn,
Orang-orang yang kafir itu sering kali (nanti di akhirat) menginginkan,
kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim. Biarkanlah
mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh
angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat
perbuatan mereka).” (al Hijr : 2-3).
Maka tanya mereka pun dijawab,
“Angkatlah pandangan mata kalian niscaya kalian akan melihat rumah-rumah
mereka.” Maka mereka melihat dari kejauhan, dan terlihatlah
teman-temannya yang dulu bersama mereka, berada di dalam istana-istana
kota Raja, beserta kamar-kamar yang megah, mereka bersenang-senang
dengan berbagai macam kelezatan. Mereka semakin menyesal, kenapa mereka
dulu tidak mengindahkan pesan sang Raja, dan ikut perlombaan menuju
kotanya. Dan kesedihan semakn bertambahan dan berkepanjangan karena
mereka dijauhkan dari hal-hal yang mereka inginkan. Dikatakan kepada
mereka, “Inilah balasan bagi orang-orang yang tertinggal.”
Allah berfirman :
وَمَا ظَلَمْنَاهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
“Dan Kami tiada menganiaya mereka akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” ( QS. An Nahl: 118).
Saudaraku, itulah permisalan perjalanan
kita menuju akhirat; pohon besar itu adalah dunia yang sekarang kita
tinggali; di tempat inilah kita membekali diri dengan bekal yang akan
mengantarkan kepada kota impian. Itulah negeri yang kita dipinta untuk
merindukannya, sebagaimana kekata, “Hubbul wathan mina l-îman,
mencintai negeri Surga adalah bagian dari keimanan.” Iya, sejatinya
negeri yang dimaksud dari kata-kata tersebut adalah surga, bukan yang
lainnya. Itulah tempat yang sangat dirindukan oleh orang-orang yang
mencinta Rajanya.
Maka, “Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta
berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi
kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di
akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan
yang menipu. Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari
Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan
bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah
karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
Allah mempunyai karunia yang besar.” (al Hadid : 20-21).
“Wa sâri’û ilâ maghfiratin min
rabbikum wa jannatin ‘ardhuhâ ka ardhi s-samâwatt wa l-ardhi ‘uiddat li
l-ladzîna âmanû billâhi wa rusulih, dzâlika fadhlullâhi yu’thi man
yasyâ’u, wallâhu dzu l-fadhli l-‘azhîm, Berlomba-lombalah kamu
kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas
langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada
Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.”
Reference :
Hâdi l-Arwâh ilâ Bilâdi l-Afrâh, dan
‘Uddatu s-Shâbirîn.
dikutip dari www.oaseiman.com