Diam. Itu yang biasa Fulan lakukan bila
rekan-rekan kerja menjadikan dirinya sebagai bahan ledekan. Lebih baik
diam. Sebab menanggapi pun hanya akan membuat ledekan mereka semakin
berkembang. Belum menikah di usia berkepala tiga, dimana teman seusianya
rata-rata sudah berkeluarga dan mempunyai anak, ada yang dua bahkan ada
juga yang tiga, membuat Fulan sering menjadi bahan ledekan rekan-rekan
sekantornya.
“Bulan Haji sudah lewat, kamu belum juga
kawin, Lan?” salah seorang rekan kerja Fulan membuka obrolan, atau
lebih tepatnya ledekan, beberapa menit sebelum jam makan siang.
“ Boro-boro kawin, punya pacar saja
belum,” celetuk rekan kerja lainnya. “Sudahlah Lan, jangan terlalu
pilih-pilih, segeralah kawin. Hati-hati, kelamaan membujang nanti bisa
berkarat!” lanjutnya, yang disambut dengan gelak tawa rekan kerja
lainnya.
Dan seperti biasa, Fulan hanya
menanggapinya dengan diam dan senyum. Tak perlu merasa sakit hati. Cukup
sering ia mendengar semacam ini, seolah-olah tak ada yang lebih menarik
bagi mereka selain menjadikan dirinya sebagai bahan guyonan.
Dan pilihan Fulan memang cukup ampuh
untuk tidak membiarkan dirinya jadi bulan-bulanan. Diam dan atau
tersenyum adalah jurus yang tetap akan ia gunakan selama ledekan dan
guyonan yang mereka lontarkan masih dalam batas kewajaran.
Tapi apa yang terdengar siang itu
sungguh tak bisa hanya Fulan tanggapi dengan diam ataupun tersenyum.
Bukan marah, tapi Fulan merasa perlu meluruskan apa yang baru saja
diucapkan salah seorang rekan kerjanya ketika ia menolak untuk makan
siang bersama karena hari itu ia sedang berpuasa.
“Sudah aku bilang, buruan kawin, biar
ada yang masakin. Jadi kamu tidak puasa melulu!” celetuk salah seorang
rekan kerja sambil tertawa. Dan meskipun guyonannya kali ini tidak
di’amin’i rekan kerja lainnya, ia yang memang paling rajin meledek Fulan
merasa guyonannya tak kalah lucu dari biasanya.
Bukan saja tidak lucu, tapi celetukannya kali ini memancing reaksi Fulan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Maaf! Sebagai laki-laki normal, sayapun
ingin menikah. Sungguh! Tapi mau bagaimana lagi, barangkali Allah belum
mengijinkan. Sampai saat ini Allah belum mempertemukan dengan jodoh
saya. Karena itu saya coba meredam hasrat alami saya dengan berpuasa.”
Fulan menjawab dengan hati-hati. Ia tak ingin justru rekan kerjanya yang
jadi tersinggung, meskipun sebenarnya ia yang lebih pantas tersinggung.
“Biar cepat dapat jodoh?” sahut rekan kerjanya, masih belum menyadari kekeliruannya.
Fulan menjawabnya dengan menggeleng.
“Atau, biar cepat kaya?” rekan kerja Fulan kembali bertanya. Kali ini ia sambil tertawa.
Sambil tersenyum Fulan menjawab. “Bukan,
bukan karena itu semua. Saya berpuasa bukan karena terpaksa sebab tidak
ada yang memasak untuk saya. Meski rasanya tidak enak, insya Allah saya
bisa masak sendiri. Atau kalau saya lagi malas masak, di sekitar
kontrakan saya masih banyak warung nasi. Juga saya berpuasa bukan agar
cepat dapat jodoh, apalagi cepat kaya.”
“Lalu?”
“Saya hanya mengikuti pesan Rosululloh
kepada pemuda yang ingin menikah tapi belum mampu, agar berpuasa karena
puasa itu perisai baginya. Saya sudah siap dan insya Allah mampu untuk
berumah tangga, baik secara fisik, hati maupun materi. Tapi sampai saat
ini Allah belum menunjukan wanita mana yang akan menjadi jodoh saya.
Saya bukan pilih-pilih, tapi memilah dan memilih calon pasangan adalah
satu keharusan agar rumah tangga selamat dunia hingga akhirat.”
“Maaf, kalian tentu lebih tahu dan lebih
berpengalaman dalam hal ini.” Fulan menambahkan. “Dan selain mengikuti
anjuran rosul, tujuan utama saya berpuasa adalah karena mengharap ridho
Allah semata. Mengapa? Karena ketika Allah ridho dengan kita, apapun
yang kita inginkan, kita butuhkan, akan Allah kabulkan. Insya Allah.
Maaf, saya tidak bermaksud menggurui, saya hanya mengingatkan, terutama
diri saya sendiri bahwa apapun yang saya lakukan semestinya karena Allah
semata, bukan karena kepentingan dunia yang hanya sesaat. Dengan ridho
Allah, dunia akhirat insya Allah selamat. “
Sunyi. Tak ada satupun rekan kerja yang menanggapi, termasuk yang tadi memulai obrolan ini.
“Maaf, Lan. Saya tak bermaksud menyinggung perasaanmu” akhirnya ia menyadari kesalahannya.
“Sudahlah, fren. Saya tidak tersinggung
kok. Silahkan makan siang, sudah waktunya istirahat.” Jawab Fulan sambil
tersenyum. Ia sengaja memanggil fren untuk mencairkan suasana. Tak
ingin Fulan berlama-lama dalam suasana yang tidak nyaman. Yang
terpenting adalah rekan kerjanya bisa mengambil pelajaran, dan tidak
sembarangan memilih obrolan.
***
Saya sepakat dan sependapat dengan
Fulan. Bahwa segala sesuatu yang kita lakukan semestinya adalah karena
Allah semata. Pekerjaan yang sama belum tentu di mata Allah nilainya
sama. Semua tergantung niat ketika akan melakukannya.
sama-sama berpuasa belum tentu sama-sama
bernilai ibadah, tergantung niatnya. Ketika berpuasa karena terpaksa,
tidak ada yang memasak seperti yang rekan kerja Fulan katakan, ingin
cepat kaya, diet dalam rangka menurunkan berat badan atau berbagai macam
alasan duniawi lainnya, maka tak ada pahala yang ia dapatkan selain apa
yang ia inginkan.
Barangkali dengan berpuasa ia memang
bisa berhemat sehingga ia bisa menabung lebih banyak, lebih cepat kaya
karena kaya dalam pandangannya selalu diukur dengan harta. Atau dengan
berpuasa ia bisa menurunkan berat badannya hingga tercapai berat yang
ideal. Itu mungkin-mungkin saja. Tapi sesungguhnya orang yang seperti
ini sangatlah merugi.
Semestinya, kalaupun benar di rumah
tidak ada makanan, tidak ada yang memasak, ingin berhemat, atau ingin
memiliki berat badan yang ideal, tetap niatkan puasa karena Allah
semata. Mengharap ridho Allah, bukan yang lainnya.
Seperti yang Fulan katakan, ketika Allah
ridho kepada kita, maka Allah akan mencukupkan yang kita inginkan,
memberikan yang kita butuhkan. Jangan arahkan yang kita kerjakan untuk
kepentingan duniawi saja, itu tidak bernilai ibadah. Niatkanlah karena
Allah, karena dengan demikian, dunia akhirat tercakup semuanya.
Allah Mahatahu apa yang kita inginkan,
kita butuhkan. Mari benahi niat sebelum melakukan sesuatu. Pastikan
karena kita mengharap ridho Allah semata. Insya Allah.
dikutip dari oaseiman.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar